Karawitan-6 Sistem Notasi Sekar

Notasi atau serat kanayagan yang dipergunakan dalam karawitan Sunda ialah serat kanayagan Daminatila atau notasi Machyar. Lambang Not yang dipergunakan ialah angka. Daminatila buah karya Rd. Machyar Anggakusumadinata pada tahun duapuluhan. Kata-katanya sendiri diambil dari kalimat; Ada ada minangka pranata-ning laras.

Daminatila (1,2,3,4,5) adalah nada-nada relative, artinya kedudukannya bisa ditempatkan/disamakan/disurupkeun dengan nada apa saja asal yang tersusun dalam nada-nada karawitan Sunda, sedangkan nada-nada pokok biasa disebut nada mutlak. Yang dimaksud dengan nada mutlak itu sendiri adalah nada yang telah tetap susunannya dan tidak bisa berubah kedudukannya. System notasi (serat kanayagan) daminatila dipergunakan untuk semua laras dan surupan yang selalu bertautan dengan susunan nada-nada mutlaknya. Nada-nada mutlak itu tersesusun sebagai berikut:
a. Tugu, Barang, Nem;
b. Kenong, Loloran;
c. Panelu;
d. Bem, Galimer;
e. Singgul, Petit’

Demikianlah nada-nada pokok dalam karawitan Sunda yang terdiri dari lima nada. Susunan nada di atas sama penerpannya dalam laras pelog dan salendro.
Daminatila adalah nada-nada relative, dengan kerelatipannya itu, daminatila bisa disurupkan dengan kelima nada mutlak, umpamanya:
Da = Tugu
Da = Panelu
Da = Galimer

Susunan not angka yang diterapkan pada serat kanayagan daminatila tersusun sebagai berikut:
1 = da
2 = mi
3 = na
4 = ti
5 = la
Berbeda dengan musik yang mempergunakan solmisasi (doremifasolasido) sebagai tangga nada naik, maka serat kanayagan dami natila tangga nadanya adalah tangga nada turun. Jadi deretan nada itu tersusun dari nada tinggi menurun ke nada-nada yang rendah. Hal ini berlaku untuk semua laras dan surupannya,. Untuk jelasnya, perhatikan gambar di bawah ini.

Pada dasarnya tanda-tanda baca yang dipergunakan dalam serat kanayagan daminatila sama dengan musik. Artinya tentang garis harga, matera, legato dan tanda-tanda yang lainnya. Tetapi ada satu hal yang justru berbeda sekali dengan kebiasaan dalam notasi musik, hal itu ialah penggunaan tanda titik untuk nada tinggi atau rendah. Sebuah nada memakai titik di atasnya, untuk musik berarti nadanya tinggi sedangkan pada karawitan berarti nadanya rendah, demikian pula sebaliknya titik di bawah nada, untuk musik berarti nada tinggi dan untuk serat kanayagan berarti nada rendah.

Tanda baca lainnya yang sangat berbeda dengan penulisan musik ialah tentang istilah malang dan miring. Istilah malang dalam karawitan Sunda identik dengan istilah mol, sedangkan istilah miring identik dengan kruis pada musik. Tanda untuk malang mempergunakan lambing plus (+), sedangkan lambing miring menggunakan lambing min (-). Tanda malang dipergunakan bila sebuah nada bergeser lebih besar, yang biasanya satu titik suara yang tidak sama (tidak sampai sama) dengan deretan nada mutlak seterusnya.

Penggunaan kata malang dan miring ditempatkan pula pada kedudukan nada-nada mutlak. Misalnya Tugu malang, Panelu miring dan sebagainya. Jadi tidak benar kalau disebutkan da malang atau da miring. Sebagai contoh perhatikan contoh di bawah ini:
Tugu malang seandainya surupan yang dipergunakan ieu da = Tugu maka penulisannya tertera 1+
Tugu miring seandainya surupan yang dipergunakan ieu da = Tugu, maka penulisannya tertera 1-

Untuk lebih mengetahui kegunaan atau penerapan malang dan miring pada karawitan Sunda, maka akan terlihat jelas apabila memperhatikan kedudukan nada dalam susunan laras pelog dan laras salendro. Malang dan miring lebih berfungsi sebagai nada-nada sisipan yang berada di antara dua nada mutlak. Itu pun terjadi apabila susunan di antara kedua nada mutlak itu tidak berhimpitan sehingga memungkinkan ada jarak (interval) di antara keduanya. Kalau tidak, maka malang dan miring tidak dipergunakan. Hal ini akan terasa pada susunan laras pelog, dimana terdapat beberapa nada yang jaraknya berhimpitan, sedangkan dalam laras salendro, malang dan miring lebih berperan karena jaraknya yang sedikit berjauhan.

Pada dasarnya tanda-tanda baca yang dipergunakan dalam serat kanayagan daminatila sama dengan musik. Artinya tentang garis harga, matera, legato dan tanda-tanda yang lainnya. Tetapi ada satu hal yang justru berbeda sekali dengan kebiasaan dalam notasi musik, hal itu ialah penggunaan tanda titik untuk nada tinggi atau rendah. Sebuah nada memakai titik di atasnya, untuk musik berarti nadanya tinggi sedangkan pada karawitan berarti nadanya rendah, demikian pula sebaliknya titik di bawah nada, untuk musik berarti nada tinggi dan untuk serat kanayagan berarti nada rendah.

Tanda baca lainnya yang sangat berbeda dengan penulisan musik ialah tentang istilah malang dan miring. Istilah malang dalam karawitan Sunda identik dengan istilah mol, sedangkan istilah miring identik dengan kruis pada musik. Tanda untuk malang mempergunakan lambing plus (+), sedangkan lambing miring menggunakan lambing min (-). Tanda malang dipergunakan bila sebuah nada bergeser lebih besar, yang biasanya satu titik suara yang tidak sama (tidak sampai sama) dengan deretan nada mutlak seterusnya.

Penggunaan kata malang dan miring ditempatkan pula pada kedudukan nada-nada mutlak. Misalnya Tugu malang, Panelu miring dan sebagainya. Jadi tidak benar kalau disebutkan da malang atau da miring. Sebagai contoh perhatikan contoh di bawah ini:
Tugu malang seandainya surupan yang dipergunakan ieu da = Tugu maka penulisannya tertera 1+
Tugu miring seandainya surupan yang dipergunakan ieu da = Tugu, maka penulisannya tertera 1-

Untuk lebih mengetahui kegunaan atau penerapan malang dan miring pada karawitan Sunda, maka akan terlihat jelas apabila memperhatikan kedudukan nada dalam susunan laras pelog dan laras salendro. Malang dan miring lebih berfungsi sebagai nada-nada sisipan yang berada di antara dua nada mutlak. Itu pun terjadi apabila susunan di antara kedua nada mutlak itu tidak berhimpitan sehingga memungkinkan ada jarak (interval) di antara keduanya. Kalau tidak, maka malang dan miring tidak dipergunakan. Hal ini akan terasa pada susunan laras pelog, dimana terdapat beberapa nada yang jaraknya berhimpitan, sedangkan dalam laras salendro, malang dan miring lebih berperan karena jaraknya yang sedikit berjauhan.

6.1. Sistem Notasi dalam Laras Pelog

Menurut teori Rd. Machyar Anggakusumadinata dalam bukunya Pangawikan Rinengga Swara, disebutkan bahwa laras pelog itu terdiri dari sembilan suara. Dari jumlah sembilan suara itu dibagi dua bagian, yaitu lima yang berlaku sebagai suara lulugu (suara pokok) dan empat sebagai suara hiasan (Uparengga Suara). Kesembilan nada-nada itu tersusun sebagai berikut:
a. Tugu
b. Kenong/Loloran
c. ----- Bungur
d. ----- Panangis
e. Panelu
f. Galimer/Bem
g. Singgul
h. ----- Pamiring
i. ----- Sorog
(Catatan: tanda ----- menunjukan nada papas/hiasan/uparengga suara yang biasanya berada di antara dua nada yang mempunyai interval besar)

Penerapan notasi (serat kanayagan) dari laras pelog yang berjumlah sembilan suara itu tersusun sebagai berikut:
Laras Pelog 1 = Tugu
Tugu = 1 dibaca da
Kenong = 2 dibaca mi
Bungur = 3- dibaca ni
Panangis = 2+ dibaca meu
Panelu = 3 dibaca na
Bem/Galimer= 4 dibaca ti
Singgul = 5 dibaca la
Pamiring = 1- dibaca di
Sorog = 5+ dibaca leu

Jadi, susunan nada-nada pelog dalam surupan da = Tugu, tersusun dalam untaian nada relatif daminatila sebagai berikut: da, mi, ni, meu, na, ti, la, di, leu. Susunan nada-nada ini akan selalu tetap walaupun kita mengubah-ubah surupannya. Untuk latihan ada baiknya dicoba penggunaan surupan da = Kenong/Loloran, da = Panelu, da=Bem/Galimer, dan seterusnya.
Surupan dalam laras Pelog

Dilihat dari jumlah nada pada laras pelog maka surupan yang ada harus berjumlah sembilan, namun dalam pelaksanaan prakteknya dalam waditra gamelan pelog hanya bisa dimainkan tiga surupan. Hal ini disebabkan nada panangis dan pamiring belum ada. Nama ketiga surupan itu adalah:
(a) Surupan Jawar menggunakan surupan 1 (da) = Tugu
(b) Surupan Liwung mempergunakan surupan da (1) = Galimer
(c) Surupan Sorog mempergunakan surupan da (1) = Panelu

Dari perbedaan ketiga surupan itu, jelas bahwa yang menonjol adalah tinggi rendahnya surupan yang dipergunakan, tetapi ada satu hal yang perlu pula diperhatikan bahwa walaupun kenyataannya perbedaan tinggi-rendah itu yang berbeda, ada satu hal lagi yang kiranya membedakan perbedaan yaitu suasana. Hal ini sangat berbeda apabila dibandingkan dengan musik (tangga nada diatonis), dimana penggunaan tinggi rendah nada tidak terlalu membawa perbedaan terhadap jiwa lagu. Sebagai contoh sebuah lagu yang sama dimainkan di do=C dan do=D, suasananya akan tetap sama. Tetapi dalam karawitan Sunda, dengan perbedaan surupan sekaligus membawa suasana yang berbeda pula (terutama pada ketiga surupan di atas, JATU LIGA SOPA , Jawar 1=Tugu, Liwung 1=Galimer dan Sorog 1 = Panelu)
Dlam karawitan Jawa ketiga surupan tersebut lebih dikenal sebutan patet yaitu, patet Nem sama dengan Jawar, patet lima sama dengan Liwung dan Patet Barang sama dengan Sorog.

6.2. Sistem Notasi dalam Laras Salendro

Laras Salendro ada dua macam yaitu Salendro Padantara (Pada=sama, antara=interval/jarak nada) dan Bedantara (Beda=berbeda, antara=interval/jarak nada) Perbedaan kedua laras salendro tersebut terldapat pada jumlah nada yang dipergunakan dan interval/swarantara dari masing-masing nadanya.

a) Salendro Padantara mempunyai jumlah nada sebanyak 15 nada, dengan interval masing-masing nada adalah sama yaitu 80 cent, jelasnya lihat susunan salendro padantara berikut ini:

Tb) Salendro Bedantara mempunyai jumlah nada sebanyak 17 nada, dengan interval masing-masing nada kurang lebih berkisar 70,58 cent. Perbedaan yang mendasar dengan Salendro padantara ialah jarak suara Loloran ke Panelu dan Singgul ke Tugu, yang biasanya berjarak dua titik suara menjadi tiga titik suara. Untuk jelasnya lihat bagan salendro bedantara di bawah ini:

Perbedaan antara Padantara dan Bedantara dilihat secara sepintas kurang begitu jelas, tetapi pada prakteknya sangat terasa sekali, terutama dalam penggunaan surupannya. Dalam buku Pangawikan Rinengga Swara karya Rd. Machyar Anggakusumadinata disebutkan adanya penambahan dua suara dalam salendro bedantara yaitu adanya suara Panangis dan Sorog. Adapun kedudukan nada Panangis dan Sorog itu sangat berlainan dengan penempatan pada laras pelog. Perhatikan kedudukan dua nada pada penampang di bawah ini:
Dengan adanya suara Sorog dan Panangis dalam salendro Bedantara, maka salendro ini mempunyai tiga surupan, yaitu:
Surupan da = Tugu, disebut Sekar Manisi atau Sari Arum
Surupan da = Panelu, disebut Sekar Roneng
Surupan da = Galimer, disebut Sekar Tonggeret
Perhatikan penampang ketiga surupan pada penampang di bawah ini:
Sekar Manis
da = T
Sekar Roneng
da = P

Sekar Tonggeret
da = G

6.3. Sistem Notasi dalam Laras Madenda

Laras Madenda selain berkembang dalam surupannya, juga bercabang dalam laras-laras lain. Dengan system tumbuk nada dan pembentukan swarantara secara mandiri, jadilah laras lain dari patokan salendro itu sendiri. (Tumbuk nada adalah berpadunya nada dalam Madenda dengan nada-nada pokok dalam laras Salendro.

Dalam laras Madenda suara-suara yang tumbuk biasa padu pada nada-nada pokok salendro yang mempunyai tugas dalam tiap patetnya. Tugas-tugas nada itu antara lain Patokaning laras, Panglangen dan Renaning Laras. Dalam tiap patet ada tiga nada yang tumbuk dan nada-nada itu diisi oleh suara-suara ti, la dan mi dalam laras madenda. Untuk jelasnya, perhatikan susunan nada-nada dalam laras Madenda untuk setiap patet.

Penampang ini diolah dari laras Salendro Padantara, untuk itu perhatikan pada setiap patet ada nada-nada yang tumbuk dengan nada pokok salendro ( S,G,P,L,T)

6.4. Sistem Notasi dalam Laras Degung
 
Laras degung terdiri dari dua macam, yaitu: Laras Degung Dwi Swara dan Laras degung Tri Suara.
Laras Degung Dwi Suara ialah degung dengan aturan nada tumbuk dua atau biasa disebut degung “mi-la”, sedangkan Degung Tri Suara jumlah nada yang tumbukny ada tiga buah, yaitu suara Na, Ti dan Da.

Seperti halnya Laras Madenda yang mempunyai susunan nada-nada yang tersendiri, degung pun demikian pula halnya. Susunan suara yang diatur dalam tiap gembyangannya, mrmbawa jiwa laras yang berbeda dengan yang lainnya.
Perhatikan penampang laras Degung Dwi Suara dalam kedudukannya mengisi tiap-tiap patet.
Penampang Laras Degung Tri Suara dalam kedudukannya mengisi tiap-tiap patet
Apabila kita perhatikan dengan seksama perbedaan jarak-jarak nada antara degung dan madenda, jelas jarak suara “na – ti” pada madenda berdekatan, sedangkan pada degung berjarak dua titik suara. Demikian pula suarantara “ti – la”. Pada madenda berjarak dua titik suara, sedangkan pada degung jaraknya berdekatan.

Lagu dalam laras degung dan lagu dalam gamelan degung mempunyai perbedaan yang sangat besar. Hal ini akan sangat jelas apabila kita berorientasi pada teknis iringan. Untuk sekadar catatan saja, gamelan-gamelan degung yang berada di Pasundan sangat jarang berorientasi pada gamelan salendro. Dalam surupannya lebih banyak berstandar pada ukuran tembang Sunda.Menurut teori Rd. Machyar Anggakusumadinata dalam bukunya Pangawikan Rinengga Swara, disebutkan bahwa laras pelog itu terdiri dari sembilan suara. Dari jumlah sembilan suara itu dibagi dua bagian, yaitu lima yang berlaku sebagai suara lulugu (suara pokok) dan empat sebagai suara hiasan (Uparengga Suara). Kesembilan nada-nada itu tersusun sebagai berikut:
a. Tugu
b. Kenong/Loloran
c. ----- Bungur
d. ----- Panangis
e. Panelu
f. Galimer/Bem
g. Singgul
h. ----- Pamiring
i. ----- Sorog
(Catatan: tanda ----- menunjukan nada papas/hiasan/uparengga suara yang biasanya berada di antara dua nada yang mempunyai interval besar)

Penerapan notasi (serat kanayagan) dari laras pelog yang berjumlah sembilan suara itu tersusun sebagai berikut:
Laras Pelog 1 = Tugu
Tugu = 1 dibaca da
Kenong = 2 dibaca mi
Bungur = 3- dibaca ni
Panangis = 2+ dibaca meu
Panelu = 3 dibaca na
Bem/Galimer= 4 dibaca ti
Singgul = 5 dibaca la
Pamiring = 1- dibaca di
Sorog = 5+ dibaca leu

Jadi, susunan nada-nada pelog dalam surupan da = Tugu, tersusun dalam untaian nada relatif daminatila sebagai berikut: da, mi, ni, meu, na, ti, la, di, leu. Susunan nada-nada ini akan selalu tetap walaupun kita mengubah-ubah surupannya. Untuk latihan ada baiknya dicoba penggunaan surupan da = Kenong/Loloran, da = Panelu, da=Bem/Galimer, dan seterusnya.
Surupan dalam laras Pelog
Dilihat dari jumlah nada pada laras pelog maka surupan yang ada harus berjumlah sembilan, namun dalam pelaksanaan prakteknya dalam waditra gamelan pelog hanya bisa dimainkan tiga surupan. Hal ini disebabkan nada panangis dan pamiring belum ada. Nama ketiga surupan itu adalah:
(a) Surupan Jawar menggunakan surupan 1 (da) = Tugu
(b) Surupan Liwung mempergunakan surupan da (1) = Galimer
(c) Surupan Sorog mempergunakan surupan da (1) = Panelu

Dari perbedaan ketiga surupan itu, jelas bahwa yang menonjol adalah tinggi rendahnya surupan yang dipergunakan, tetapi ada satu hal yang perlu pula diperhatikan bahwa walaupun kenyataannya perbedaan tinggi-rendah itu yang berbeda, ada satu hal lagi yang kiranya membedakan perbedaan yaitu suasana. Hal ini sangat berbeda apabila dibandingkan dengan musik (tangga nada diatonis), dimana penggunaan tinggi rendah nada tidak terlalu membawa perbedaan terhadap jiwa lagu. Sebagai contoh sebuah lagu yang sama dimainkan di do=C dan do=D, suasananya akan tetap sama. Tetapi dalam karawitan Sunda, dengan perbedaan surupan sekaligus membawa suasana yang berbeda pula (terutama pada ketiga surupan di atas, JATU LIGA SOPA , Jawar 1=Tugu, Liwung 1=Galimer dan Sorog 1 = Panelu)
Dlam karawitan Jawa ketiga surupan tersebut lebih dikenal sebutan patet yaitu, patet Nem sama dengan Jawar, patet lima sama dengan Liwung dan Patet Barang sama dengan Sorog.

6.2. Sistem Notasi dalam Laras Salendro

Laras Salendro ada dua macam yaitu Salendro Padantara (Pada=sama, antara=interval/jarak nada) dan Bedantara (Beda=berbeda, antara=interval/jarak nada) Perbedaan kedua laras salendro tersebut terldapat pada jumlah nada yang dipergunakan dan interval/swarantara dari masing-masing nadanya.

a) Salendro Padantara mempunyai jumlah nada sebanyak 15 nada, dengan interval masing-masing nada adalah sama yaitu 80 cent,
b) Salendro Bedantara mempunyai jumlah nada sebanyak 17 nada, dengan interval masing-masing nada kurang lebih berkisar 70,58 cent. Perbedaan yang mendasar dengan Salendro padantara ialah jarak suara Loloran ke Panelu dan Singgul ke Tugu, yang biasanya berjarak dua titik suara menjadi tiga titik suara. Perbedaan antara Padantara dan Bedantara dilihat secara sepintas kurang begitu jelas, tetapi pada prakteknya sangat terasa sekali, terutama dalam penggunaan surupannya. Dalam buku Pangawikan Rinengga Swara karya Rd. Machyar Anggakusumadinata disebutkan adanya penambahan dua suara dalam salendro bedantara yaitu adanya suara Panangis dan Sorog. Adapun kedudukan nada Panangis dan Sorog itu sangat berlainan dengan penempatan pada laras pelog. Dengan adanya suara Sorog dan Panangis dalam salendro Bedantara, maka salendro ini mempunyai tiga surupan, yaitu:
Surupan da = Tugu, disebut Sekar Manisi atau Sari Arum
Surupan da = Panelu, disebut Sekar Roneng
Surupan da = Galimer, disebut Sekar Tonggeret
Perhatikan penampang ketiga surupan pada penampang di bawah ini:
Sekar Manis
da = T
Sekar Roneng
da = P

Sekar Tonggeret
da = G

6.3. Sistem Notasi dalam Laras Madenda
 
Laras Madenda selain berkembang dalam surupannya, juga bercabang dalam laras-laras lain. Dengan system tumbuk nada dan pembentukan swarantara secara mandiri, jadilah laras lain dari patokan salendro itu sendiri. (Tumbuk nada adalah berpadunya nada dalam Madenda dengan nada-nada pokok dalam laras Salendro.

Dalam laras Madenda suara-suara yang tumbuk biasa padu pada nada-nada pokok salendro yang mempunyai tugas dalam tiap patetnya. Tugas-tugas nada itu antara lain Patokaning laras, Panglangen dan Renaning Laras. Dalam tiap patet ada tiga nada yang tumbuk dan nada-nada itu diisi oleh suara-suara ti, la dan mi dalam laras madenda. Untuk jelasnya, perhatikan susunan nada-nada dalam laras Madenda untuk setiap patet.
Penampang ini diolah dari laras Salendro Padantara, untuk itu perhatikan pada setiap patet ada nada-nada yang tumbuk dengan nada pokok salendro ( S,G,P,L,T)

6.4. Sistem Notasi dalam Laras Degung
 
Laras degung terdiri dari dua macam, yaitu: Laras Degung Dwi Swara dan Laras degung Tri Suara.
Laras Degung Dwi Suara ialah degung dengan aturan nada tumbuk dua atau biasa disebut degung “mi-la”, sedangkan Degung Tri Suara jumlah nada yang tumbukny ada tiga buah, yaitu suara Na, Ti dan Da.

Seperti halnya Laras Madenda yang mempunyai susunan nada-nada yang tersendiri, degung pun demikian pula halnya. Susunan suara yang diatur dalam tiap gembyangannya, mrmbawa jiwa laras yang berbeda dengan yang lainnya.
Perhatikan penampang laras Degung Dwi Suara dalam kedudukannya mengisi tiap-tiap patet.

Apabila kita perhatikan dengan seksama perbedaan jarak-jarak nada antara degung dan madenda, jelas jarak suara “na – ti” pada madenda berdekatan, sedangkan pada degung berjarak dua titik suara. Demikian pula suarantara “ti – la”. Pada madenda berjarak dua titik suara, sedangkan pada degung jaraknya berdekatan.

Lagu dalam laras degung dan lagu dalam gamelan degung mempunyai perbedaan yang sangat besar. Hal ini akan sangat jelas apabila kita berorientasi pada teknis iringan. Untuk sekadar catatan saja, gamelan-gamelan degung yang berada di Pasundan sangat jarang berorientasi pada gamelan salendro. Dalam surupannya lebih banyak berstandar pada ukuran tembang Sunda.